Ramai


Bersisian aku dan Arlan berjalan menikmati Kota Gudeg, alunan musik khas Jawa mengalun indah disetiap sudutnya. Jogja, kota yang ngangenin. Kota penuh mimpi, kota dimana aku, Luna dan Arlan dipertemukan dalam balutan putih biru. Kota dengan sejuta tawa, ribuan rindu dan dua cinta.

“Kita punya banyak hal, tapi tidak semua dapat dimiliki,” ujarku disela-sela langkah kami. Tak ada jawaban yang kudapat. Hanya sebuah perenungan dari sorot matanya.

Kami terbawa dalam pikiran masing-masing. Berjalan menyusuri waktu dan masa lalu.

“Dunia ini jahat Na, aku bisa memilikimu itu berarti aku melukai orang yang kita sayangi,” ujarnya pelan.

“Kita punya banyak impian tapi tidak semua dapat diwujudkan,” dia berkata lagi seraya menarik nafas dalam.

Aku menepuk pundaknya, lalu kuarahkan tangan kananku ke hatinya. Kusentuh pelan. “Semua tersimpan di dalam sana,” jawabku sambil menatap lekat matanya. Hanya seulas senyum yang terhias diwajah itu. Aku membalas senyumnya. “Senyum itu yang aku rindukan,” ujarku setengah berbisik.

Kami melanjutkan perjalanan kembali. Tak banyak berubah wajah Malioboro ini. Ragam batik masih berjejer menghiasi koridor ruko yang telah berumur. Pelancong hilir mudik melakukan transaksi. Dulu kita bertiga selalu menghabiskan waktu di tempat ini.

Ini tempat favorit kami. Bangku menghadap jalan nomor tiga dari perempatan. Tak terhitung lagi cerita yang terurai disana. Aku, kamu dan dia. Berdua kami duduk untuk mengenang masa lalu, tanpa reaksi apa-apa hanya fokus menghadap jalan.

“Kita punya banyak harapan tapi tidak semua dapat kita capai,” tuturku membuka pembicaraan seraya menatap wajahnya yang masih menghadap jalan.

“Dulu, aku memang berharap darimu. Ingin perhatiaanmu, ingin lebih dari seorang teman. Yang jelas sekarang ini aku masih berharap lebih darimu,” jawabnya pelan ditelan oleh kendaraan yang lalu lalang.

Aku menggeser dudukku untuk lebih merapat. Kutolehkan lagi wajahku kearahnya. Dibalas tatapanku sesaat, kemudian wajah itu kembali menatap jauh entah kemana.

“Kita ini bodoh Na, sesuatu yang tidak harus dilakukan, dilakukan. Aku khawatir, suatu saat sahabat sekaligus kekasihmu akan mengetahui semua ini.”

Aku menghela nafas.

“Dan kita harus siap dengan segala resiko yang telah kita lakukan!” Tutupnya dengan wajah datar.

“Tetapi kita punya doa yang pasti suatu saat terjawab….,” tiba-tiba suara dari arah belakang mereka. Arlan dan aku terdiam beberapa saat, bersamaan mereka menoleh kebelakang. Kemudian hening.

Posted with WordPress for BlackBerry.

Leave a comment