Biru, Jatuh Hati


“Tolong hargai aku sebagai orang pilihan hatimu.” Ucapku geram, seraya menarik rambutnya.

“Aku tidak bisa melakukan apa-apa ! Jika caramu seperti ini. Please lepaskan ikatan ini!” Pintanya penuh harap.

Aku tertawa mendengarnya. “Aku tidak akan melepaskanmu sayang. Aku ingin kita bermain-main dulu.” Jawabku enteng.

Dengan langkah berat, aku mengitari tempat duduknya. Tangan itu terikat kebelakang. Ujung bibir sebelah kiri ada darah yang mengering. Pipinya lebam. Dan bagian depan kemeja putih yang terdapat bercak darah sedikit terbuka, sehingga memperlihatkan dada yang bidang.

“Ini belum seberapa sayang, buat hukuman seorang peselingkuh seperti kamu!” Bentakku.

Kuarahkan belati tepat di bawah dagunya seraya senyum penuh kemenangan.

“Kamu tau apa rasanya ditusuk dengan ini?” Tanyaku sambil memainkan belati itu pada dagu itu kiri-kanan, depan-belakang. Tak ada rasa takut tergambar dari wajah lelakiku. Tetap dingin dengan sorot mata menantang.

Plaaaak…, tamparan mendarat mulus tepat di pipi kanan lelakiku. “Ini tamparan pertama untukmu sayang.” Bisikku. Plaaak…, “ini tamparan kedua!”. Emosiku mulai meninggi. Kembali aku memutarinya kemudian duduk dipangkuan lelakiku. Mata kami bersitatap, sama nyalangnya. Kutarik kemeja itu ke atas sehingga tubunya terangkat dan dengan paksa kubuka kemeja yang sudah setengah terbuka itu sehingga semua kancingnya terlepas. Kutarik nafasku perlahan lalu kuhembuskan perlahan pula tepat di depan mukanya. Entahlah hawa seperti apa yang tercium. Kubelai lembut kedua pipinya, ada pergolakan disana. “Aku risih,” ucapnya pelan.
“Risih! Risih katamu?” teriakku. “Hemmmm…., apa bedanya dengan perbuatan hina yang kamu lakukan dengan sahabatku?” Ucapku datar.
Kutatap lekat lelaki dihadapanku, lalu kucondongkan tubuhku sehingga ujung hidung kami bersentuhan. “Selamat ulang tahun, kenangan.” Desahku. Kutarik kembali tubuhhku sehingga aku kembali berdiri sempurna.

Dengan penuh amarah kubuka paksa ikat pinggangnya. Kumainkan gesper itu layaknya pertunjukkan kuda lumping. Aku kesetanan.
Pletaaar…, sabetan tali gesper kulit mendarat ditubuhnya. Satu kali, dua kali, tiga kali dst….kuhujani tubuh itu. Dia meringis, dan ringisan itulah yang membuatku semakin membabi buta. Tertawa, berteriak silih berganti kulakukan.

“Cukup! Cukup! Cukup!” Rintihnya.
Sama sekali kuhiraukan rintihannya. Sampai akhirnya aku lemas kehabisan tenaga. Dan dia lemah terkuai, dengan darah yang mengalir dari bibirnya. Dengan tubuh penuh warna akibatan sabetan-sabetan tali dari gespernya sendiri.

****

“Aku bisa lebih sadis dari perempuan itu!”, bisik Luna pada Baruna setelah film yang mereka tonton menyelesaikan adegan kekerasannya. Baruna tersedak seraya melepaskan genggamannya dengan Arlan dibalik sofa biru kamar hotel 312 di Pantai Pangandaran.

****

Braaaaakkk, daun pintu dibanting keras.

Hotel Room 312 at Pangandaran beach.

Biru, Jatuh hati. Padamu Michael.

Love you Keyla.

The End tertera pada LED.

Baruna, Luna dan Arlan saling berpandangan.

Leave a comment