Jingga Di Ujung Senja


“Baruna kau Harus Berangkat Sore ini, ke Palembang! Ini tugas! ”

Post it merah menyala dengan huruf tegas, tertempel indah di mejaku. Tepat searah dengan jarum jam pukul 12 pada jam yang mati 3 bulan lalu. Ada foto aku, kamu dan dia sebagai backgroundnya. Rasa kesal langsung menyergap menyebar keseluruh tubuhku.

“Sore ini! Palembang! Dengusku.

“Memangnya nggak bisa besok apa? Gumamku mangkel.

Diraih selular dari saku celananya, speed dial…

“Aku harus ke Palembang sore ini sayang, tidak bisa ditawar.”

“Kamu baru pulang kemarin, kenapa harus sore ini, aku belum merasakan nafasmu?” jawaban dari seberang telpon tegas.

“Sudah jadi kewajibanku untuk menggantikan Pak Bowo, beliau harus ke Singapura?”.

Tut..tut… Sambungan terputus dan tanpa sengaja Baruna menyenggol gelas pemberian Luna. Pecah berhamburan.

Tidit.., Aku ke Palembang sore ini. Pesan pendek dari Luna.

“Pak Baruna! Ada paket untuk bapak.” Tiba-tiba suara bass office boy mengagetkan Baruna.
Dengan suara tercekat serta parau, “Sekalian kamu bersihkan pecahan-pecahan gelas ini!” Ujarnya.

Jarum jam sudah mengarah ke angka 12.00 WIB, tepat matahari berada di atas kepala. Angker buat Baruna dengan segala bentuk kejadian aneh yang dialami dan selalu dimulai dari lewat pukul dua belas kosong-kosong.

Baruna bergegas meninggalkan meja kerjanya, namun langkah itu terhenti. Sebuah email dan paket. Dilirik casio yang melingkar dipergelangan tangan kanannya. Masih ada sisa waktu 12 menit sebelum taksi yang di order tiba.

Hanya dalam waktu hitungan detik, email sudah terbuka. Anonim@yahoo.co.id

Jangan lewatkan pertunjukkan nanti malam!
Layar lcd gelap.

Pandangannya kini beralih pada paket disisi kanan tetikus. Dibukanya perlahan, tanpa melihat isi Baruna langsung mengambil sesuatu dari dalam paket itu. Dibacanya…

Jingga di Ujung Senja.

Jika kita melewatkan semua ini maka semua akan berakhir. Aku, kamu dan dia.

Anonim

Kembali Baruna meraih sesuatu dari dalam paket itu. Selembar foto. Foto Jembatan Ampera yang membelah Sungai Musi, Benteng Kuto Besak. Pasar 16 Ilir, rumah makan apung dengan pindang patinnya, getek (perahu bermesin). Dibaliknya foto itu. Noda darah kering, kecupan lipstik dan darah segar yang mengalir dari jari jemarinya.

Reflek melihat tangan kanannya berlumuran darah, diangkatlah tangan itu. Ada senyum tipis tersungging disana. Lalu diarahkan pandangannya pada kotak paket. Dibuka lebar, ratusan silet ada disana dan salah satu dari silet itu telah menyentuh lembut tangannya.

***

Dibalik jendela burung besi yang gagah mengangkasa, Baruna duduk manis dengan mata terpejam menuju kembali ke Jakarta di ujung senjanya Sungai Musi.

Posted with WordPress for BlackBerry.

Leave a comment